Kacamata Peradaban

2016/05/28

FILOSOFI KEMENYAN





      Apa yang pertamakali terbayangkan ketika mendengar kata “kemenyan”? sebuah ritual  keagamaan, media yang mendatangkan aura mistik, dan mungkin dukun. Semua asumsi-asumsi tersebut muncul karena orang tradisional biasa menggunakan kemenyan sebagai pelantara menuju dunia ruhani. Namun dalam dimensi lain, kemenyan juga memiliki fungsi yang bermanfaat bagi dunia badani.

Sejak lama, kemenyan telah dikenal oleh orang-orang Nusantara sebagai identitas kepercayaan sekaligus komoditas ekonomi lokal. Dalam kepercayaan lokal, bau kemenyan yang menyengat dianggap sebagai media mendatangkan roh nenek moyang yang sampai sekarang kemenyan masih digunakan dalam upacara-upacara adat tertentu di Nusantara. Saking melekatnya kemenyan dengan kepercayaan lokal, hingga kini bau kemenyan selalu di identikan dengan suatu nuansa yang mistisme.

Sebagai komoditas ekonomi lokal, Kemenyan pernah menjadi getah wangi yang banyak dicari oleh pasar internasional sejak berabad-abad lalu dengan nilai yang tinggi. Bahkan Robin Simanjuntak pengelola kemenyan yang masih bertahan saat ini, dalam tulisan Aufrida Wismi Warasti dalam Kompas mengatakan (24/5) bahwa di masa lalu nilai kemenyan setara dengan emas. Hal ini menunjukan bahwa kemenyan pernah menjadi getah wangi yang banyak di butuhkan oleh konsumen internasional.

            Saat ini, wilayah yang masih aktif memproduksi kemenyan berada di dataran tinggi pantai barat Sumatera Utara, diantaranya adalah Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Toba Samosir, Hubang Hasundutan, dan Pakpak Bharat. Dari data Dinas Perkebunan Sumut 2014 menunjukan, tanaman ini tumbuh di areal seluas 22.897.82 hektar dengan produksi mencapai 4.968,82 ton. Tanaman ini kini diusahakan oleh 40.959 petani. Kompas (24/3/2016)

Jejak Kemenyan

             Produksi kemenyan di Sumatera Utara telah dilakukan selama ratusan tahun lalu, bahkan menjadi pusat perbelanjaan kemenyan di dunia. Menurut Wolters (1967), hubungan perdagangan antara Sumatera dengan Cina sudah terjalin sejak abad ke-5 M dengan tiga bahan ekspor, yaitu Kamper, Kemenyan, dan getah pohon Cemara. Data lain menyebutkan bahwa pada abad ke-8 M pelaut asal Hadramaut pernah menemukan Kemenyan di Sumatera, lalu mencampurnya dengan getah lain untuk dijual ke Cina.

            Dalam literatur dunia, kemenyan tidak di temukan dalam sumber Cina sebelum abad ke-9 M yang di sebutkan dengan nama an-shi-hsiang untuk menunjukan kemenyan dan mur. Dalam literatur Arab, kemenyan baru disebutkan dalam tulisan Ibnu Batutah yang sempat mengunjungi pantai barat Sumatera Utara pada tahun 1346 M dengan menyebut luban jawi untuk menunjuk kemenyan. Sementara di Eropa, catatan yang menyebutkan adanya kemenyan baru muncul pada abad ke-14.

Penyebaran penggunaan kemenyan ke penjuru dunia di mungkinan tidak berjalan dengan cepat karena kemenyan tidak tercatat dalam buku pengobatan dan botani abad ke-14 dan 15 M. Meskipun begitu bukan berarti kemenyan sama sekali tidak menyebar ke barbagai penjuru dunia, karena penggunaan kemenyan bisa saja terjadi dalam bentuk lain seperti digunakan sebagai perlengkapan ritus keagamaan dan bahan wewangian.

Kebudayaan Kemenyan

Selama ratusan tahun kemenyan telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat tradisional dalam menghormati sang pencipta. Penggunaan kemenyan diduga di awali oleh orang-orang Sumatera. Awalnya kemenyan digunakan untuk kepentingan keagamaan dengan cara membakarnya dalam ritus-ritus upacara keagamaan lokal. Misalnya dalam tradisi masyarakat Batak, kemenyan digunakan untuk ritual penyembahan alam dan asapnya dijadikan media penyembuhan penyakit.

Dalam riset William Marsden (2013: 177) mengenai Sumatera pada abad ke-18, kemenyan digunakan sebagai salahsatu perlengkapan dalam ritual pemberian sumpah oleh orang Sumatera. Kemenyan yang di ekspor ke Arab, Persia dan beberapa daerah di Hindia menurut Marsden digunakan di tempat ibadah dan rumah-rumah. Selain itu, kemenyan juga berfungsi mengusir serangga dan bau-bauan yang tidak sedap.

Masyarakat Tapanuli yang mayoritasnya beragama Kristen berkembang sebuah kisah mengenai kemenyan. Ketika Nabi Isa dikaruniai seorang anak, datang seorang cendikiawan yang menghadiahkan kemenyan di Betlehem. Kemenyan yang dibawakan oleh seorang cendikiawan itu dipercaya di datangkan langsung dari Tapanuli. Meskipun begitu, kisah ini patut untuk ditelusuri kembali untuk membuktikan kebenaranya.

Terlepas benar atau tidaknya kisah tersebut, kemenyan telah berkembang menjadi produk kebudayaan yang mewarnai setiap ritus keagamaan tradisional yang masih bertahan di beberapa tempat sampai sekarang. Melalui kemenyan, prodak ide kebudayaan menjadi lebih kaya memperkaya multikultural masyarakat Nusantara dan dunia. Misalnya dalam kepercayaan orang Jawa, kemenyan dianggap mampu mendatangkan roh nenek moyang sekaligus mengusir roh jahat. Kepercayaan ini juga mungkin berkembang di kebudayaan tradisional dunia lainya.

Ketika masa perlayaran pedagang Islam, kemenyan bertambah fungsi menjadi bahan pewangi. Zamakhsyari Dhofier menjelaskan bahwa Barus sebagai wilayah pesisir metropolitan pernah menjadi wilayah yang sangat terkenal dengan minyak wanginya. Minyak wangi yang di produksi dari Barus merupakan minyak wangi yang berkelas tinggi, konsumenya bukanlah dari kelas masyarakat kecil melainkan minyak wangi yang sering digunakan oleh para Sultan Istana. Tentu saja minyak wangi yang diproduksi dari Barus kemungkinan besar terbuat dari bahan kemenyan karena disekitarnya berlimpah perkebunan kemenyan. Sejak itulah, kemenyan menjadi barang mewah bagi pasar internasional, khususnya pasar Timur Tengah dan Cina yang memiliki minat besar terhadap minyak wangi Barus.

Dalam kisah Wali Sanga pun kemenyan pernah di gunakan oleh Sunan Kalijaga untuk dijadikan pewangi ruangan. Namun, kebiasaan masyarakat lokal yang membakar kemenyan untuk mengundang roh nenek moyang jadi bersinggungan dengan ajaran Islam, sehingga para Wali lain sempat menegur Sunan Kalijaga karena ulahnya. Sunan Kalijaga lalu menjelaskan, bahwa kemenyan yang digunakanya bertujuan untuk mengharumkan ruangan karena Rasulullah SAW pun menyukai wewangian.

Kemenyan dalam Tragedi

            Jack Turner (2005: 182-187) menjelaskan Pada tahun 1603 sekitar 25.000 warga London terjangkit wabah pes yang membuat mayat-mayat membusuk di jalanan, sementara yang belum terjangkit berusaha melarikan diri dari kota. Wabah ini menyebar ke hampir seluruh dunia karena tidak dapat di tanggulangi penyebabnya dan menjadi wabah paling ditakuti oleh orang-orang di seluruh dunia. Saking mengerikanya wabah ini, mereka menyebut wabah ini sebagai Black Death (Maut Hitam).

            Akhirnya, berbagai tabib pun melakukan kajian untuk mengetahui penyebab dari wabah mengerikan ini. Lucy, wanita bangsawan dari Bedford menyusun sebuah metafora medis dan mengatakan “korupsi udara”, maksudnya menurut Lucy dan medis abad pertengahan lain menganggap bahwa penyebab dari wabah ini dikarenakan udara yang buruk. Seorang dokter Abad Pertengahan di Valencia, menulis kepada kedua anak lelakinya di Toulouse pada 1315, dia berargumen bahwa udara yang buruk lebih berbahaya dan lebih menularkan wabah di bandingkan makanan dan minuman yang tercemar.

            Tentu saja anggapan abad pertengahan ini tidak di tunjang dengan kajian medis yang modern seperti sekarang, mereka tidak mengetahui keberadaan mikroba dan bakteri sebagai penyebab munculnya wabah, sehingga anggapan seperti itulah yang menjadi kepercayaan.

            Resep obat pun dibuat berdasarkan anggapan ini, udara yang buruk dapat membawa penyakit, maka udara yang baik mampu memberikan perlindungan terhadap penyakit. Disinilah aromatik dan rempah-rempah memainkan peran penting dalam menangani wabah pes, termasuk kemenyan. Mereka membakar bahan-bahan aromatik di ruangan, agar udara yang diciptakan mampu melindungi dari bau yang dianggap orang abad pertengahan penyebab munculnya wabah pes.

Namun penggunaan kemenyan termasuk aromatik lain dan rempah-rempah menjadi barang mewah yang tidak semua orang sanggup menggunakanya. Hanya kalangan bangsawanlah yang sanggup menggunakanya. Wajarlah, akses untuk mendapatkan barang-barang tersebut tidak lah mudah karena harus berhadapan dengan bajak laut diperjalanan dan membutuhkan biaya yang banyak untuk mendatangkanya karena jarak tempuhnya yang jauh. Sehingga harga rempah-rempah dan aromatik yang di datangkan di Asia bisa naik sampai 1.000% ketika sampai ke Eropa.

Kemenyan di Era Modern

           Di era modern, dimana orang-orang sudah berpikir lebih rasional, kepercayaan masyarakat terhadap mistisme dan roh nenek moyang secara perlahan mulai di tinggalkan. Itu artinya penggunaan media yang mengantarkan kepada dunia mistisme pun ikut ditinggalkan.

Saat penulis melakukan riset ke beberapa warung di sekitar tempat tinggal, kemenyan bakar yang biasa digunakan dalam ritual mistisme sudah sulit di dapatkan. Apakah ini menunjukan bahwa permintaan pasar terhadap kemenyan sudah minim juga? Dalam beberapa hal mungkin iya, namun disisi lain tidak. Untuk kemenyan bakar yang biasa digunakan untuk ritual tertentu mungkin permintaan pasarnya sudah minim, namun permintaan kemenyan untuk keperluan lain masih cukup tinggi.

Dilansir dari Kompas edisi 25 Mei 2015, luas areal yang menanam pohon kemenyan di Sumatera Utara saat ini sudah sepertiga dari luas areal sebelumnya, namun permintaan terhadap kemenyan masih sangat tinggi. Saat ini produksi kemenyan di ekspor ke Eropa untuk dijadikan bahan baku pembuatan minyak wangi. Negara-negara Eropa tersebut diantaranya adalah Prancis, Jerman, dan negara-negara lain yang memproduksi minyak wangi.
Namun petani kemenyan mengalami kendala dalam mengelola kemenyan karena jangka panennya cukup panjang yakni selama 10 tahun, sehingga petani tidak mampu memenuhi permintaan konsumen. Robin Simanjuntak selaku petani kemenyan mengharapkan adanya bantuan dari pemerintah berupa bibit unggul agar jangka waktu panen kemenyan bisa dipangkas menjadi 6 tahun.
***
Kemenyan merupakan bagian dari produk alam Nusantara yang sangat kaya, keberadaan kemenyan telah membawa umat manusia kepada kenikmatan spiritual yang mengkhusyukan jiwa dalam ritual-ritual keagamaan. Aromanya telah mengharumkan pakaian kebesaran Sultan Istana dan dianggap penyelamat nyawa bagi orang-orang Abad Pertengahan.

Sebagai produk yang mempunyai nilai sejarah dan kebudayaan yang tinggi, kemenyan selayaknya mendapatkan perhatian yang khusus agar bisa lebih dikembangkan lagi pemanfaatanya. Selain demi kepentingan identitas lokal, pengembangan pemanfaatan kemenyan juga sangat potensial untuk meningkatkan ekonomi negara.

Penulis: Muhamad Maksugi

Sumber: 
Turner, Jack., Sejarah Rempah, 2011, Julia Absari (penj), The History of Temptation, Komunitas Bambu, Depok.
 Marsden, William., Sejarah Sumatera, 2013, Tim Komunitas Bambu (penj), The History of SUmatera, Komunitas Bambu, Jakarta.
Claude Guillot, Lobu Tua Sejarah Awal Barus, 2002, Histore de Barus: Le Site de Lobu Tua I. Etudes et Documents, Yayasan Obor Indonesia.
http://www.silaban.net/2007/04/13/kemenyan-getah-magis-yang-dulu-senilai-emas/, diakses pada 27 Mei 2016
Aufrida Wismi Warasti, Di Cari Dunia, di Abaikan di Negeri Sendiri, Kompas, 24 Mei 2019

Share this:

Comments
0 Comments

Posting Komentar

 
Back To Top
Distributed By Blogger Templates | Designed By OddThemes